NHW #3 Membangun Peradaban dari dalam Rumah
"Rumah adalah taman dan gerbang peradaban yang mengantarkan anggota keluarganya menuju peran peradabannya."
Rumah merupakan pondasi sebuah bangunan peradaban, dimana seorang istri bersama suami diberi amanah untuk mendidik anak, maka sudah selayaknya sebagai orang yang terpilih kita menjalankan amanah dari Allah dengan sungguh-sungguh.
Dalam NHW #3 Institut Ibu Profesional kali ini, kembali fasilitator memberi tugas untuk menelisik diri dan hati kita, apa sih sebenarnya peran spesifik dirimu dan keluargamu dalam kehidupan dunia ini, adakah Allah memiliki maksud menciptakanmu, memberi pasangan yang menjadi suamimu saat ini, menganugerahkan anak yang shalih dan shalihah kepadamu, menempatkanmu di lingkungan tempat tinggalmu hari ini. Apa rahasia Allah sebenarnya?
Tugas poin pertama dari NHW 3# ini kami diminta untuk membuat surat cinta kepada suami untuk meremajakan cinta antar pasangan. Mengetahui tugas yang demikian awalnya Saya menganggap biasa aja, santai, gampanglah nanti dikerjakan apa adanya saja. Jeng-jeng, ketika mood datang saat itu di malam ketika suami dan anak sudah terlelap pukul 12.54 Saya mulai mengambil kertas dan menuliskan sedikit demi sedikit kata. Hingga pada paragraf kedua, niat Saya menjadi berubah yang awalnya membuat surat hanya untuk menuntaskan tugas menjadi malah excited mengerjakannya. Dalam surat itu, Saya menyatakan perasaan Saya kepada suami bahwa Saya tidak pernah menyesal menikah dengannya bahkan Saya belum pernah merasa sedih berkepanjangan setelah menikah dengannya. Setiap hari dia berhasil membuat Saya semakin jatuh cinta. Terus menerus Saya mengungkap kata terima kasih telah menjadi suami terbaik, ayah terbaik, sabar, shalih, dan membimbing keluarga untuk senantiasa berada pada jalan-Nya. Kemudian Saya memohon maaf apabila selama hampir 4 tahun kami bersama Saya belum menjadi istri yang shalihah, pandai merawat diri, kacau dalam mengatur waktu maupun tidak maksimal dalam melayani.
Paginya jelang suami berangkat ke poliklinik tempatnya bekerja, ada rasa deg-degan antara malu, sedih bahagia setelah menuliskan surat tersebut, akhirnya Saya beranikan diri juga memberikan surat yang Saya tulis semalam. Hari itu Saya merasa was-was menunggu respon, hingga sore suami pulang ke rumah Saya belum juga mendapatkanrespon. Suami masih biasa-biasa saja. Wah, apakah dia lupa, apakah dia tidak merasakan apa-apa, apakah dia tidak terharu, pertanyaan-pertanyaan tersebut menyelimuti diri. Hari berikutnya pun demikian, tidak ada respon sama sekali darinya. Hiks.
Hingga hari kedua setelah Saya memberikan surat, Saya sengaja untuk menyinggung kembali masalah surat tersebut. Saya ceritakan kepadanya tentang respon para suami teman-teman IIP, ada yang membalas surat, ada yang menangis haru, dll. "Kalau ayang gimana, asa lempeung-lempeung aja?" Hoho, ternyata saudara-saudara, dia lupa membaca surat dari Saya, suratnya masih tersimpan rapi di saku bajunya. Dia baru tersadar, oh, yang kemarin dikasih itu surat, kirain kertas apa. jegeeeerrr, ayaaaang!!!!
Karena Saya malu dia akan membaca surat, Saya pura-pura ke kamar mandi sambil menahan haru dan menahan malu. Saya menitikkan air mata. hehe. Keluar dari kamar mandi terlihat suami Saya menangis haru, spontan memeluk dan mencium Saya. Dia bisikkan di telinga Saya, "I Love You Too." Aaaak, haruu, kami menangis bahagia bersama, Bersyukur atas apa yang Kami capai hingga hari ini, keluarga yang insyallah sakinah mawaddah wa rahmah, aamiiin.
Tentang diri Saya, Saya adalah wanita asli Jawa yang dibesarkan oleh kedua orangtua yang sangat paham agama. Bapak Saya adalah penerus estafeta kepemimpinan di pesantren yang dibangun oleh kakek setelah kakek meninggal. Ibu Saya seorang dosen di universitas negeri di Yogyakarta, Saya dan adik-adik selalu dibimbing oleh kedua orangtua untuk rajin beribadah dan belajar untuk kehidupan ketika dewasa nanti. Masuk usia SMP Saya disekolahkan di pesantren, walaupun pesantren bapak, tetapi Saya tetap harus mondok. Melakukan semua aktivitas secara mandiri, tidak boleh pulang ke rumah dan menaati segala peraturan di pesantren, ketika Saya melanggar pun Saya akan dikenakan sanksi yang sama seperti orang lain. Selesai mesantren sampai SMA, Saya melanjutkan pendidikan kuliah Saya di Jakarta, alhamdulillah Saya mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama baik dana untuk kuliah maupun living cost.
Dan di kampus inilah Saya bertemu dengan suami Saya tercinta. Kami sama-sama penerima beasiswa, kami saling aktif di BEM Fakultas, kami sering bertualang bersama dengan teman lainnya. Terkadang banyak hal yang membuat kami berselisih saat berorganisasi,
Hal ini yang membuat Saya semakin merenung bahwa kami disatukan oleh Allah karena kami memiliki beberapa perbedaan. Saya sanguinis mudah mendapat teman baru, dia melankolis. Saya pengen semua pekerjaan serba cepat dia setiap melakukan pekerjaan harus direncanakan terlebih dahulu, Saya yang lebih mudah marah, dia yang sabar, Saya yang lebih hati-hati dalam menyimpan barang dia yang pelupa, Dia yang rajin membaca dan belajar dan Saya yang ingin diceritai isi dari buku atau artikel yang dia baca. Kami selalu berdiskusi, kami selalu mengobrol tentang segala sesuatu. Semoga perbedaan ini menjadi kekuatan yang besar untuk selalu membawa keluarga kecil kami untuk menjadi lebih baik.
Saat ini Saya berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus bisnis online dari rumah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita Saya sebelumnya untuk menjadi PNS atau tenaga non medis di Rumah Sakit. Syukur Allah menakdirkan diri Saya menjadi seperti sekarang. Saya bisa tetap berpenghasilan dari rumah membantu ekonomi keluarga dengan tetap bisa melihat perkembangan buah hati.
Kami dikaruniai buah hati yang kami beri nama Nafla Haurina Rosyada yang artinya bonus bidadari yang selalu mendapat petunjuk. Saat ini Nafla berusia 27 bulan. Dimulai dari kelahirannya, Dia sudah ditakdirkan menjadi anak yang tangguh. Dulu Nafla lahir melalui operasi caesar yang tidak direncanakan, Saya merasakan kontraksi 2 hari 2 malam dan tinggal di rumah bidan, setiap mulas sakit Saya terus mengucap istighfar sambil terus bersabar. HIngga malam kedua pembukaan sudah maju sampai pembukaan tujuh. Tapi ternyata Nafla tak kunjung keluar juga. Malam itu air ketuban hampir habis. Hingga siangnya pukul 14.00 Saya dirujuk ke rumah sakit. Proses yang sangat lambat. Hiks.
Pukul 15.00 Saya masuk ke ruang bersalin, sudah ada box bayi di samping ranjang, Saya akan melahirkan melalui proses induksi. Wah, sudah ada box bayi, sudah pembukaan tujuh, Saya akan segera bertemu dengan bayi Saya, pikir Saya saat itu. Dan ternyata Allah berkata lain, perawat yang membantu persalinan Saya salah menyuntikkan obat ke dalam infusan, obat yang seharusnya dimasukkan seharusnya untuk menjadi pereda nyeri, ini malah obat induksi lagi yang menyebabkan Saya dan bayi Saya over dosis. Detak jantung bayi drop dan Saya kejang hebat. Untung tindakan medis cukup cepat, Saya langsung dibawa ke ruang operasi untuk melahirkan secara caesar. Alhamdulillah Saya dan bayi selamat, walaupun Nafla harus dirawat selama seminggu karena over dosis obat. Rasa sedih melanda waktu itu melihat bayi mungil diinfus. Berjuang ya, nak. Alhamdulillah dia bisa melewati masa itu dengan kuat. Seminggu kemudian bayi mungil ini kembali sehat.
Menyelami potensi diri Nafla, dia merupakan anak cerdas yang mudah menangkap hal baru, seperti ketika Saya membacakan cerita, dia memahami dengan baik bahkan bisa menceritakan ulang walaupun belum sempurna. Dia anak yang mandiri ketika Saya memaikan baju misalnya, dia ingin memakainya sendiri. Di usianya yang baru 27 bulan dia juga mampu mandi dan makan sendiri. Alhamdulillah Allah sudah memberikan potensi baik dalam diri Nafla, semoga Saya dan suami bisa menggali lagi potensi lainnya dan mengembangkannya agar kelak Nafla menjadi anak yang shalihah bermanfaat bagi keluarga agama, bangsa dan negaranya.
Oh iya, Saya berdomisili di Garut. Tempat yang sebelumnya belum pernah Saya kunjungi bahkan terasa asing di telinga Saya. Saya dan suami dituntut untuk mengabdi di pesantren asal pasca lulus sarjana sesuai dengan ketentuan beasiswa kementerian agama. Karena suami alumni pesantren sini, maka Saya harus mengikuti suami untuk mengabdi disini. Sudah 3 tahun Kami disini, suami mengabdi sebagai guru di tingkat aliyah, tenaga kesehatan di pos kesehatan pesantren sekaligus pembimbing di Asrama Putra. Sedangkan Saya mengabdi sebagai pembimbing Asrama Putri. Alhamdulillah, jauh dari orangtua dan tinggal di pesantren bukan sesuatu yang sulit bagi Saya yang sudah terbiasa tinggal di pesantren. Sebagai pembimbing asrama, seringkali Saya dihadapkan dengan berbagai permasalahan santri, sehingga menuntut Saya untuk terus belajar. Semoga dengan kehadiran Saya dan suami di sini bisa memberikan warna tersendiri bagi kemajuan pesantren, dan bisa menjadikan ladang pahala dan berdakwah untuk menjadikan diri ataupun ummat menjadi lebih baik. Allahumma yassir wa laa tu'assir. Aamiin.
Rumah merupakan pondasi sebuah bangunan peradaban, dimana seorang istri bersama suami diberi amanah untuk mendidik anak, maka sudah selayaknya sebagai orang yang terpilih kita menjalankan amanah dari Allah dengan sungguh-sungguh.
Dalam NHW #3 Institut Ibu Profesional kali ini, kembali fasilitator memberi tugas untuk menelisik diri dan hati kita, apa sih sebenarnya peran spesifik dirimu dan keluargamu dalam kehidupan dunia ini, adakah Allah memiliki maksud menciptakanmu, memberi pasangan yang menjadi suamimu saat ini, menganugerahkan anak yang shalih dan shalihah kepadamu, menempatkanmu di lingkungan tempat tinggalmu hari ini. Apa rahasia Allah sebenarnya?
Tugas poin pertama dari NHW 3# ini kami diminta untuk membuat surat cinta kepada suami untuk meremajakan cinta antar pasangan. Mengetahui tugas yang demikian awalnya Saya menganggap biasa aja, santai, gampanglah nanti dikerjakan apa adanya saja. Jeng-jeng, ketika mood datang saat itu di malam ketika suami dan anak sudah terlelap pukul 12.54 Saya mulai mengambil kertas dan menuliskan sedikit demi sedikit kata. Hingga pada paragraf kedua, niat Saya menjadi berubah yang awalnya membuat surat hanya untuk menuntaskan tugas menjadi malah excited mengerjakannya. Dalam surat itu, Saya menyatakan perasaan Saya kepada suami bahwa Saya tidak pernah menyesal menikah dengannya bahkan Saya belum pernah merasa sedih berkepanjangan setelah menikah dengannya. Setiap hari dia berhasil membuat Saya semakin jatuh cinta. Terus menerus Saya mengungkap kata terima kasih telah menjadi suami terbaik, ayah terbaik, sabar, shalih, dan membimbing keluarga untuk senantiasa berada pada jalan-Nya. Kemudian Saya memohon maaf apabila selama hampir 4 tahun kami bersama Saya belum menjadi istri yang shalihah, pandai merawat diri, kacau dalam mengatur waktu maupun tidak maksimal dalam melayani.
Paginya jelang suami berangkat ke poliklinik tempatnya bekerja, ada rasa deg-degan antara malu, sedih bahagia setelah menuliskan surat tersebut, akhirnya Saya beranikan diri juga memberikan surat yang Saya tulis semalam. Hari itu Saya merasa was-was menunggu respon, hingga sore suami pulang ke rumah Saya belum juga mendapatkanrespon. Suami masih biasa-biasa saja. Wah, apakah dia lupa, apakah dia tidak merasakan apa-apa, apakah dia tidak terharu, pertanyaan-pertanyaan tersebut menyelimuti diri. Hari berikutnya pun demikian, tidak ada respon sama sekali darinya. Hiks.
Hingga hari kedua setelah Saya memberikan surat, Saya sengaja untuk menyinggung kembali masalah surat tersebut. Saya ceritakan kepadanya tentang respon para suami teman-teman IIP, ada yang membalas surat, ada yang menangis haru, dll. "Kalau ayang gimana, asa lempeung-lempeung aja?" Hoho, ternyata saudara-saudara, dia lupa membaca surat dari Saya, suratnya masih tersimpan rapi di saku bajunya. Dia baru tersadar, oh, yang kemarin dikasih itu surat, kirain kertas apa. jegeeeerrr, ayaaaang!!!!
Karena Saya malu dia akan membaca surat, Saya pura-pura ke kamar mandi sambil menahan haru dan menahan malu. Saya menitikkan air mata. hehe. Keluar dari kamar mandi terlihat suami Saya menangis haru, spontan memeluk dan mencium Saya. Dia bisikkan di telinga Saya, "I Love You Too." Aaaak, haruu, kami menangis bahagia bersama, Bersyukur atas apa yang Kami capai hingga hari ini, keluarga yang insyallah sakinah mawaddah wa rahmah, aamiiin.
Tentang diri Saya, Saya adalah wanita asli Jawa yang dibesarkan oleh kedua orangtua yang sangat paham agama. Bapak Saya adalah penerus estafeta kepemimpinan di pesantren yang dibangun oleh kakek setelah kakek meninggal. Ibu Saya seorang dosen di universitas negeri di Yogyakarta, Saya dan adik-adik selalu dibimbing oleh kedua orangtua untuk rajin beribadah dan belajar untuk kehidupan ketika dewasa nanti. Masuk usia SMP Saya disekolahkan di pesantren, walaupun pesantren bapak, tetapi Saya tetap harus mondok. Melakukan semua aktivitas secara mandiri, tidak boleh pulang ke rumah dan menaati segala peraturan di pesantren, ketika Saya melanggar pun Saya akan dikenakan sanksi yang sama seperti orang lain. Selesai mesantren sampai SMA, Saya melanjutkan pendidikan kuliah Saya di Jakarta, alhamdulillah Saya mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama baik dana untuk kuliah maupun living cost.
Dan di kampus inilah Saya bertemu dengan suami Saya tercinta. Kami sama-sama penerima beasiswa, kami saling aktif di BEM Fakultas, kami sering bertualang bersama dengan teman lainnya. Terkadang banyak hal yang membuat kami berselisih saat berorganisasi,
Hal ini yang membuat Saya semakin merenung bahwa kami disatukan oleh Allah karena kami memiliki beberapa perbedaan. Saya sanguinis mudah mendapat teman baru, dia melankolis. Saya pengen semua pekerjaan serba cepat dia setiap melakukan pekerjaan harus direncanakan terlebih dahulu, Saya yang lebih mudah marah, dia yang sabar, Saya yang lebih hati-hati dalam menyimpan barang dia yang pelupa, Dia yang rajin membaca dan belajar dan Saya yang ingin diceritai isi dari buku atau artikel yang dia baca. Kami selalu berdiskusi, kami selalu mengobrol tentang segala sesuatu. Semoga perbedaan ini menjadi kekuatan yang besar untuk selalu membawa keluarga kecil kami untuk menjadi lebih baik.
Saat ini Saya berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus bisnis online dari rumah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita Saya sebelumnya untuk menjadi PNS atau tenaga non medis di Rumah Sakit. Syukur Allah menakdirkan diri Saya menjadi seperti sekarang. Saya bisa tetap berpenghasilan dari rumah membantu ekonomi keluarga dengan tetap bisa melihat perkembangan buah hati.
Kami dikaruniai buah hati yang kami beri nama Nafla Haurina Rosyada yang artinya bonus bidadari yang selalu mendapat petunjuk. Saat ini Nafla berusia 27 bulan. Dimulai dari kelahirannya, Dia sudah ditakdirkan menjadi anak yang tangguh. Dulu Nafla lahir melalui operasi caesar yang tidak direncanakan, Saya merasakan kontraksi 2 hari 2 malam dan tinggal di rumah bidan, setiap mulas sakit Saya terus mengucap istighfar sambil terus bersabar. HIngga malam kedua pembukaan sudah maju sampai pembukaan tujuh. Tapi ternyata Nafla tak kunjung keluar juga. Malam itu air ketuban hampir habis. Hingga siangnya pukul 14.00 Saya dirujuk ke rumah sakit. Proses yang sangat lambat. Hiks.
Pukul 15.00 Saya masuk ke ruang bersalin, sudah ada box bayi di samping ranjang, Saya akan melahirkan melalui proses induksi. Wah, sudah ada box bayi, sudah pembukaan tujuh, Saya akan segera bertemu dengan bayi Saya, pikir Saya saat itu. Dan ternyata Allah berkata lain, perawat yang membantu persalinan Saya salah menyuntikkan obat ke dalam infusan, obat yang seharusnya dimasukkan seharusnya untuk menjadi pereda nyeri, ini malah obat induksi lagi yang menyebabkan Saya dan bayi Saya over dosis. Detak jantung bayi drop dan Saya kejang hebat. Untung tindakan medis cukup cepat, Saya langsung dibawa ke ruang operasi untuk melahirkan secara caesar. Alhamdulillah Saya dan bayi selamat, walaupun Nafla harus dirawat selama seminggu karena over dosis obat. Rasa sedih melanda waktu itu melihat bayi mungil diinfus. Berjuang ya, nak. Alhamdulillah dia bisa melewati masa itu dengan kuat. Seminggu kemudian bayi mungil ini kembali sehat.
Menyelami potensi diri Nafla, dia merupakan anak cerdas yang mudah menangkap hal baru, seperti ketika Saya membacakan cerita, dia memahami dengan baik bahkan bisa menceritakan ulang walaupun belum sempurna. Dia anak yang mandiri ketika Saya memaikan baju misalnya, dia ingin memakainya sendiri. Di usianya yang baru 27 bulan dia juga mampu mandi dan makan sendiri. Alhamdulillah Allah sudah memberikan potensi baik dalam diri Nafla, semoga Saya dan suami bisa menggali lagi potensi lainnya dan mengembangkannya agar kelak Nafla menjadi anak yang shalihah bermanfaat bagi keluarga agama, bangsa dan negaranya.
Oh iya, Saya berdomisili di Garut. Tempat yang sebelumnya belum pernah Saya kunjungi bahkan terasa asing di telinga Saya. Saya dan suami dituntut untuk mengabdi di pesantren asal pasca lulus sarjana sesuai dengan ketentuan beasiswa kementerian agama. Karena suami alumni pesantren sini, maka Saya harus mengikuti suami untuk mengabdi disini. Sudah 3 tahun Kami disini, suami mengabdi sebagai guru di tingkat aliyah, tenaga kesehatan di pos kesehatan pesantren sekaligus pembimbing di Asrama Putra. Sedangkan Saya mengabdi sebagai pembimbing Asrama Putri. Alhamdulillah, jauh dari orangtua dan tinggal di pesantren bukan sesuatu yang sulit bagi Saya yang sudah terbiasa tinggal di pesantren. Sebagai pembimbing asrama, seringkali Saya dihadapkan dengan berbagai permasalahan santri, sehingga menuntut Saya untuk terus belajar. Semoga dengan kehadiran Saya dan suami di sini bisa memberikan warna tersendiri bagi kemajuan pesantren, dan bisa menjadikan ladang pahala dan berdakwah untuk menjadikan diri ataupun ummat menjadi lebih baik. Allahumma yassir wa laa tu'assir. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar